18 April 1976. Udara di Pelabuhan Panjang tengah malam itu sungguh dingin terasa. Namun sekelompok pemuda yang berada di pinggiran dek pelabuhan itu, seperti tak terpengaruh dengan angin yang menusuk. Mereka tetap berdiri dengan tegap menunggu kapal yang akan mengangkut mereka berangkat menunaikan tugas. Mereka adalah sukarelawan dari Batalion 143 yang mendapat tugas untuk mengikuti Operasi Seroja.
Tak lama, sebuah kapal datang. Kata Wakolo tertulis besar-besar di lambung kapal itu. Kapal dagang sederhana itulah yang akan mengangkut mereka untuk menjalankan tugas negara. Berdiri di depan di antara kumpulan pemuda itu, Kapten M. Joesoef S memimpin kompi A. Setelah semua anggota batalion naik, kapal pun bertolak dari dermaga, menuju ke Timor Timur.
Lima hari mereka terombang-ambing ombak. Lima hari mereka menunggu dan membayangkan seperti apa kondisi medan perang yang akan mereka hadapi. Akhirnya, hari keenam, Kapal Wakolo merapat di sebuah pelabuhan di Kota Dili. Setelah turun dari kapal, Kapten Joesoef menerima pengarahan dari pimpinannya dan mendapat perintah: Kompi A harus mempertahankan Kota Dili Sektor Timur. Dengan penuh semangat, Kapten Joesoef pun memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke daerah tujuan. Demi mengamankan daerah tersebut, sekaligus menggantikan Kopassus yang sebelumnya berjaga di sana.
Kenangan Operasi Seroja
Setelah berhasil mengamankan Kota Dili, ia ditugaskan untuk membuka Rute Perbekalan Umum (RPU) dari Simpang Relako hingga Simpang Tukululi, Ermera. Mulanya Kompi A memiliki waktu selama lima hari untuk membuka rute tersebut. Namun tugas itu selesai dalam waktu satu hari. Setelah terbukanya rute itu, ia kembali mendapat tugas untuk membebaskan daerah lain. Kota Turiscai namanya.
Tugas-tugas yang dijalani oleh Joesoef muda beserta anggota Kompi A pada waktu itu bukanlah perkara mudah. Memasuki dan merebut kota-kota itu dari tangan musuh, adalah tugas penuh resiko dan ancaman. Pertempuran demi pertempuran ia lewati. Hujan peluru sudah seperti sarapan pagi. Datangnya pasti dan menjadi rutinitas sehari-hari.
Di antara pertempuran-pertempuran itu, yang paling berkesan di hati Joesoef adalah pertempuran merebut dan mempertahankan kota Aituto. “Saya ingat, pertempuran di kota itu memakan waktu hingga dua hari,” kenangnya. Setelah Kompi A berhasil merebut Kota Aituto, terhitung ada dua lagi pertempuran yang memakan waktu hingga seharian penuh di kota itu. “Hari pertama dimulai dari jam setengah lima subuh. Pertempuran baru mereda sekitar jam setengah lima sore. Begitupun hari keduanya, dimulai dari jam setengah lima subuh. Namun pada hari kedua berakhir pukul setengah satu,” jelas Joesoef. Tidak terasa hampir sepuluh bulan sejak mereka menjejakkan kaki di Bumi Loro Sae. Setelah pertempuran demi pertempuran mereka lalui, tiba saatnya mengakhiri tugas di daerah yang kala itu masih menjadi provinsi ke 27 Republik Indonesia. Mereka pun dipulangkan pada bulan Januari 1977. Kembali ke Provinsi Lampung.
Demikian Joesoef menceritakan jalannya peperangan dan tugas yang ia emban selama di Timor Timur dengan detil yang sungguh mengagumkan. Di usianya yang sudah 71 tahun, tak secuilpun ingatan akan perang lepas dari benaknya. Mulai dari tanggal, nama kota, nama tempat, hingga jam dan menitnya pun masih terekam dengan jelas. Selain itu, seragam musuh dengan topi lebar dan hiasan sebuah bulu di topi, serta senjatanya yang berkilauan pun masih terbayang dengan tegas di matanya. Dengan gaya penuturan yang khas dan detil seperti itu, sayang rasanya jika tidak mendengarkan ceritanya hingga tuntas.
“Mungkin semua ini bisa dibilang kuasa Tuhan, sehingga kami bisa selamat dan keluar dari semua pertempuran yang kami lalui,” katanya. Dari kisahnya, ternyata tak seorangpun dari anggota Kompi A yang gugur, meski ada beberapa yang terluka. Rasa takut akan kematian pun seperti tak ada. “Kami semua sudah mengerti akan konsekuensinya. Jadi, semua itu kami jalani dengan penuh tanggung jawab, sehingga rasa takut pun hilang.”
Lepasnya Timor Timur
Namun sungguh sayang, perjuangannya membela Timor Timur dengan darah dan airmata itu seperti sia-sia belaka. Pada tahun 1999, di era pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Timor Timur memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri bernama Timor Leste. Para pejuang pembela, termasuk Joesoef sangat menyayangkan hal itu.
“Kami tak menyalahkan Bapak Habibie. Namun kami sangat menyayangkan kenapa hal itu bisa sampai terjadi,” katanya. Ia mengatakan, tak sedikit dari pejuang Indonesia yang terjun ke sana kehilangan nyawanya. “Perjuangan para pemuda itu jadi seperti sia-sia,” tuturnya sedih.
Meski usianya telah renta, semangat juang Joesoef tetap membara. Menjalani hari-hari tuanya di gedung veteran di bilangan Enggal, Bandar Lampung, ayah enam orang anak ini masih tetap seorang pejuang. Kini ia dipercaya memimpin organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Lampung. Teman-teman seperjuangannya di Batalion 143, sekarang turut pula menjadi pengurus. Terkadang mereka masih suka bertukar cerita tentang perjuangannya dulu. Baik kepada sesama veteran, maupun siapa aja yang ingin mendengarkan kisah heroik mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar